Minggu, 21 Oktober 2012

Macam - macam budaya orang Tionghoa

Budaya Tionghoa merupakan budaya yang paling tua dan kompleks di dunia. Di Indonesia, warga negara keturunan Tionghoa, dapat ditemui hampir di semua kota di Indonesia. Karena orang Tionghoa sudah banyak tersebar di Indonesia, maka tidak heran kebudayaan Tionghoa banyak dikenal luas. Terlebih lagi, banyak klenteng yang dibangun di berbagai kota yang membuat semua lapisan masyarakat lama kelamaan mulai mengerti ritual dan budaya Tionghoa.
Budaya warga Tionghoa yang telah dikenal baik di Indonesia mencakup kuliner, kesenian, musik, alat musik, perayaan-perayaan, bahasa, dan pakaian.
 

Kuliner

Berikut ini adalah jenis-jenis makanan khas Tionghoa yang populer di Indonesia:
 

Kue bulan / Tiong Chiu Pia

Kue Bulan Dasarnya berbentuk bulat, yang melambangkan kebulatan dan keutuhan. Namun seiring perkembangan zaman, bentuk-bentuk lainnya muncul menambah variasi dalam komersialisasi kue bulan. Perkataan Tiong Chiu sendiri berasal dari kata "Tiong" berarti tengah dan "Chiu" berarti musim rontok, jadi boleh dikatakan sebutan Tiong Chiu arti secara harafiahnya berarti pertengahan musim rontok. Namun demikian masyarakat lebih kenal dengan sembahyang Tiong Chiu Pia, walaupun sebenarnya penyebutan ini tidak tepat namun kenyataan dalam kebiasaan masyarakat tetap demikian.
 

Bakcang

Bakcang Makanan dalam bungkusan daun, isinya ketan atau nasi yang ditambah daging dan isi lainnya sesuai selera. Di Tiongkok, bakcang disebut Zongzi. "Duan Wu Jie" adalah hari raya dimana umumnya orang makan bakcang. Pada hari itu dijual bermacam-macam bakcang dan semua warga, baik tua maupun muda, besar atau kecil, semua makan bakcang.
 

Lumpia

Lumpia Memiliki ciri khas pada bahan bakunya, yaitu rebung. Selain rebung dari bambu muda, beberapa bahan yang juga utama adalah udang dan telur, termasuk tepung terigu yang digunakan sebagai pembungkus.
 

Siomay

Siomay Makanan yang terbuat dari terigu diisi campuran daging, udang dan lain-lain. Terdapat banyak macam isi siomay mulai dari siomay ikan tenggiri, ayam, udang, kepiting, atau campuran daging ayam dan udang. Kulit siomay mirip dengan kulit pangsit.
 

Bakpao

Bakpao Biasanya diisi dengan daging ayam, sayur-sayuran, srikaya manis, coklat, selai kacang kedelai, kacang azuki, kacang hijau,dan sebagainya. Bakpao yang berisi daging ayam dinamakan kehpao.
 

Bakso

Bakso Daging yang dicincang dan dibentuk menjadi bulat,biasanya daging yang digunakan adalah daging sapi atau ikan. Bakso itu berasal dari bahasa Tionghoa yang terdiri dari 2 kata, "Bak" dan "so", dimana "Bak" artinya daging babi dan "So" itu mie + sup. Tapi kemudian di indonesia sendiri daging babi itu dirubah menjadi daging sapi tetapi tetap menggunakan kata Bak.
 

Mie

Mie Dapat dibuat dari berbagai macam tepung seperti tepung terigu, tepung beras, tepung kanji, tepung kacang hijau dan lain lain. Secara umum mie dapat digolongkan menjadi dua, mie kering dan mie basah. Pada umumnya mie basah adalah mie yang belum dimasak, kandungan airnya cukup tinggi dan tidak tahan lama, jenis mie ini biasanya hanya tahan 1 hari.
 

Tahu Pong

Tahu Pong Tahu yang tengahnya kosong. Tahu ini sebenarnya tahu biasa, seperti tahu-tahu lain yang kita kenal. Bedanya karena proses pembuatan yang sedikit berbeda, tingkat kepadatan akhir yang berbeda menyebabkan bolong. Sewaktu mentah bentuknya juga sama seperti tahu biasa, tetapi setelah digoreng, bagian tengahnya menyusut dan menjadi kopong / kosong.
 

Kue Keranjang

Kue Keranjang Kue yang terbuat dari tepung ketan dan gula, serta mempunyai tekstur yang kenyal dan lengket. Kue ini merupakan salah satu kue khas atau wajib pada saat Perayaan Tahun Baru Imlek. Kue ini dinamakan kue keranjang karena wadah cetaknya berbentuk keranjang. Kalau dulu hanya dikenal kue keranjang dibungkus daun pisang, maka kemudian, karena alasan praktis dan sulit mendapatkan daun pisang dalam jumlah banyak, digunakan plastik untuk membungkus dodol khas imlek ini.
 

Perayaan

 

Tahun Baru Imlek

Tahun Baru Imlek Tahun Baru Imlek merupakan perayaan terpenting orang Tionghoa. Perayaan Tahun Baru Imlek dimulai di hari pertama bulan pertama (penanggalan Tionghoa) dan berakhir dengan Cap Go Meh di tanggal ke lima belas (pada saat bulan purnama). Malam tahun baru imlek dikenal sebagai Chuxi yang berarti "malam pergantian tahun". Biasanya dirayakan dengan menyulut kembang api. Di Indonesia pada tahun 1965 hingga 1998 perayaan tahun baru Imlek dilarang dirayakan di depan umum. Dengan Instruksi Presiden Nomor 14 Tahun 1967, rezim Orde Baru di bawah pemerintahan Presiden Soeharto, melarang segala hal yang berbau Tionghoa, di antaranya Imlek.
Masyarakat keturunan Tionghoa di Indonesia kembali mendapatkan kebebasan merayakan tahun baru Imlek pada tahun 2000 ketika Presiden Abdurrahman Wahid mencabut Inpres Nomor 14/1967. Kemudian Presiden Megawati Soekarnoputri menindaklanjutinya dengan mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 19/2002 tertanggal 9 April 2002 yang meresmikan Imlek sebagai hari libur nasional. Mulai 2003, Imlek resmi dinyatakan sebagai salah satu hari libur nasional.
 

Festival Lampion

Festival Lampion Adalah festival dengan hiasan lentera yang dirayakan setiap tahunnya pada hari ke-15 bulan pertama (menurut penanggalan Tionghoa). Festival inilah yang menandai berakhirnya perayaan tahun baru Imlek. Festival ini biasanya dirayakan secara luas di Tiongkok, Taiwan, Hongkong dan negara-negara yang terdapat komunitas Tionghoa.
 

Cap Go Meh

Cap Go Meh Melambangkan hari ke-15 dan hari terakhir dari masa perayaan Imlek bagi komunitas Tionghoa. Pada tanggal ini juga merupakan bulan penuh pertama dalam Tahun Baru tersebut. Perayaan ini dirayakan dengan jamuan besar dan berbagai kegiatan.
 

Bahasa

 

Bahasa Tionghoa

Bahasa Tionghoa memiliki banyak varian vokal atau lisan, namun secara tertulis hanya satu. Variasi tersebut tergantung kedaerahan, sehingga bisa dikatakan sebagai bahasa daerah atau dialek.
Sekitar 1/5 penduduk dunia menggunakan salah satu bentuk bahasa Tionghoa sebagai penutur asli, maka jika dianggap satu bahasa, bahasa Tionghoa merupakan bahasa dengan jumlah penutur asli terbanyak di dunia. Bahasa Tionghoa (dituturkan dalam bentuk standarnya, Mandarin) adalah bahasa resmi Tiongkok dan Taiwan, salah satu dari empat bahasa resmi Singapura, dan salah satu dari enam bahasa resmi PBB.
 

Pakaian

 

Cheongsam

Cheongsam Merupakan pakaian wanita dengan corak bangsa Tionghoa. Nama "Cheongsam" berarti "pakaian panjang", diterjemahkan ke dalam Bahasa Inggris dari dialek Propinsi Guangdong (Canton) di Tiongkok.
Mudah dikenakan dan nyaman, bentuk pakaian Cheongsam cocok dengan bentuk tubuh wanita etnis Tionghoa. Leher tinggi, lengkung leher baju tertutup, dan lengan baju bisa pendek, sedang atau panjang, tergantung musim dan selera pemakainya. Memiliki kancing di sisi kanan, bagian dada longgar, selayak di pinggang, dan salah satu sisi di bagian pahanya terbelah, yang kesemuanya semakin menonjolkan kecantikan dari wanita yang mengenakannya. Cheongsam tidak terlalu susah dibuat. Tidak pula memiliki banyak perlengkapan, seperti sabuk, atau selendang. Cheongsam adalah dapat dibuat dari berbagai macam bahan dan memiliki keragaman panjang, dapat digunakan secara santai atau resmi.
 

Ritual

 

Budaya Teh Tionghoa

Minum Teh Minum teh telah menjadi semacam ritual di kalangan masyarakat Tionghoa. Di Tiongkok, budaya minum teh dikenal sejak 3.000 tahun sebelum Masehi (SM). Bahkan, berlanjut di Jepang (1192 รข€“ 1333) oleh pengikut Zen. Minum teh dapat menetralisasi kadar lemak dalam darah, setelah mengonsumsi makanan yang mengandung lemak.
 

Ceng Beng / Festival Qingming

Ceng Beng / Festival Qingming Adalah ritual tahunan etnis Tionghoa untuk bersembahyang dan ziarah ke kuburan sesuai dengan ajaran Khonghucu. Festival Tionghoa ini jatuh pada hari ke 104 setelah titik balik matahari pada musim dingin. Bagi etnis Tionghoa, hari ini merupakan suatu hari untuk mengingat dan menghormati nenek moyang. Setiap orang berdoa di depan nenek moyang, menyapu pusara dan bersembahyang dengan menyajikan makanan, teh, arak, dupa, kertas sembahyang dan berbagai aksesoris, sebagai persembahan kepada nenek moyang.

 

 

Barongsai

Barongsai Adalah tarian tradisional Tionghoa dengan menggunakan kostum yang menyerupai singa. Masyarakat Tionghoa percaya bahwa singa adalah lambang kebahagiaan dan kesenangan. Tarian ini dipercaya merupakan pertunjukan yang dapat membawa keberuntungan sehingga umumnya diadakan pada berbagai acara penting seperti pembukaan restoran, pendirian klenteng, dan tentu saja perayaan Tahun Baru Imlek.
Barongsai secara garis besar terdiri dari 2 jenis yakni: Singa Utara yang memiliki surai ikal dan berkaki empat. Penampilan Singa Utara kelihatan lebih natural dan mirip singa ketimbang Singa Selatan yang memiliki sisik serta jumlah kaki yang bervariasi antara dua atau empat. Kepala Singa Selatan dilengkapi dengan tanduk sehingga kadangkala mirip dengan binatang "Kilin".
Gerakan antara Singa Utara dan Singa Selatan juga berbeda. Bila Singa Selatan terkenal dengan gerakan kepalanya yang keras dan melonjak-lonjak seiring dengan tabuhan gong dan tambur, gerakan Singa Utara cenderung lebih lincah dan penuh dinamika karena memiliki empat kaki.
Satu gerakan utama dari tarian Barongsai ini adalah gerakan singa memakan amplop berisi uang yang disebut dengan istilah "Lay See". Di atas amplop tersebut biasanya ditempeli dengan sayuran (selada air) yang melambangkan hadiah bagi sang Singa. Proses memakan "Lay See", istilah ini banyak digunakan di Hongkong, ini berlangsung sekitar separuh bagian dari seluruh tarian Singa.
 

Pertunjukan Wayang Potehi

Wayang Potehi Potehi berasal dari kata "poo" (kain), "tay" (kantung) dan "hie" (wayang). Wayang Potehi adalah wayang boneka yang terbuat dari kain. Sang dalang akan memasukkan tangan mereka ke dalam kain tersebut dan memainkannya layaknya wayang jenis lain. Kesenian ini sudah berumur sekitar 3.000 tahun dan berasal dari daratan Tiongkok asli.
Dulunya Wayang Potehi hanya memainkan lakon-lakon yang berasal dari kisah klasik daratan Tiongkok seperti kisah legenda dinasti-dinasti yang ada di Tiongkok, terutama jika dimainkan di dalam kelenteng. Akan tetapi saat ini Wayang Potehi sudah mengambil cerita-cerita di luar kisah klasik. Pada masa masuknya pertama kali di Indonesia, wayang potehi dimainkan dalam Bahasa Hokkian. Seiring dengan perkembangan zaman, wayang ini pun kemudian juga dimainkan dalam Bahasa Indonesia.
 

Alat Musik

Alat musik tradisional Tionghoa dapat dimainkan secara solo, ataupun secara bersama-sama dalam sebuah orkes yang besar (seperti zaman dahulu di istana kerajaan) atau dalam grup-grup musik kecil. Jaman dahulu tidak ada konduktor di ensambel musik Tionghoa, ataupun penggunaan partitur musik pada saat pentas. Musik biasanya telah dihapalkan oleh pemusiknya, kemudian dimainkan tanpa alat bantu, sehingga kerjasama tim amat sangat dibutuhkan. Tapi zaman sekarang ini partitur ataupun konduktor dibutuhkan, apabila jumlah pemusik cukup banyak. Berikut adalah jenis-jenis alat musik tradisional Tionghoa:
 

Alat Musik Gesek

 

Erhu

Erhu Rebab Tionghoa, badannya menggunakan kulit ular sebagai membran, menggunakan 2 senar, yang digesek dengan penggesek terbuat dari ekor kuda.
 

Gaohu

Gaohu Sejenis dengan Erhu, hanya dengan nada lebih tinggi.
 

Gehu

Gehu Alat musik gesek untuk nada rendah, seperti Cello.
 

Banhu

Banhu Rebab Tionghoa, dengan badan terbuat dari batok kelapa dengan papan kayu sebagai membrannya.
 

Alat Musik Petik

 

Liuqin

Liuqin Alat musik petik kecil bentuknya seperti buah pir dengan 4 senar.
 

Yangqin

Yangqin Alat musik ini memiliki banyak senar, cara memainkannya dengan memukul dengan stik bambu sebagai pemukulnya.
 

Pipa

Pipa Alat musik petik berbentuk buah pir dengan 4 atau 5 senar.
 

Ruan

Ruan Alat musik petik berbentuk bulat dengan 4 senar.
 

Sanxian

Sanxian Alat musik petik dengan badan terbuat dari kulit ular dan dengan leher panjang, memiliki 3 senar.
 

Guzheng

Guzheng Kecapi yang memiliki 16 - 26 senar.
 

Konghou

Konghou Harpa Tiongkok.
 

Alat Musik Tiup

 

Dizi

Dizi Suling dengan menggunakan membran getar.
 

Souna

Souna Terompet Tiongkok.
 

Sheng

Sheng Alat musik yang menggunakan bilah logam dengan tabung-tabung bambu sebagai penghasil suara.
 

Xiao

Xiao Suling.
 

Paixiao

Paixiao Pipa pen.
 

Alat Musik Pukul (Perkusi)

 

Paigu

Paigu Gendang yang terdiri dari satu set 4 atau lebih.
 

Dagu

Tambur besar.
 

Chazi

Simbal, cengceng.
 

Luo

Luo Gong.
 

Muyu

Muyu Kecrek terbuat dari kayu.





.

Tahun Baru Imlek, Kebudayaan Cina di Indonesia

Sudah sepuluh kali terakhir ini kalau tidak salah Tahun Baru Imlek alias Tahun Baru Cina dijadikan sebagai bagian dari hari libur Nasional Republik Indonesia. Era KH Abdurrachman Wahid merupakan penyegaran dan cahaya baru khususnya bagi etnis Tionghoa yang ada di Indonesia, setelah lebih dari 30 tahun tidak diperbolehkan menunjukkan jatidirinya sebagai suatu suku bangsa. Masih segar dalam ingatan, sebelum tahun 1998, apa saja yang berbau Cina dianggap tidak nasionalis, tidak patriotik, dan dalam banyak hal dikait-kaitkan dengan komunisme di RRC. Hal ini berlangsung ketika hubungan Indonesia dengan Cina terputus pada tahun 1966 dan baru mengalami perbaikan pada tahun 1989.
Pelarangan atas segala macam hal berbau Cina berlangsung dalam banyak cara. Seperti keharusan mengganti nama dari nama Cina ke nama Indonesia atau nama Cina yang diindonesiakan, pelarangan agama Konghuchu sehingga etnis Tionghoa harus memilih salah satu dari lima agama yang diakui di Indonesia, penutupan sekolah-sekolah berbahasa Cina sampai dilarangnya penggunaan bahasa Cina secara meluas diseluruh Indonesia, serta perlakuan-perlakuan diskriminatif lainnya seperti dipersulitnya mereka memasuki ranah politik, militer dan bahkan hingga masalah kewarganegaraan dimana untuk mengurus KTP saja harus menunjukkan surat bukti kewarganegaraan Indonesia (yang seharusnya tidak perlu, karena mereka yang kelahiran Indonesia secara otomatis adalah WNI). Warna Cina hanya nampak pada klenteng-klenteng yang pada masa Orde Baru sangat terbatas kegiatannya. Kendati Feng Shui (atau bahasa selatannya Hong Shui)
Tapi dengan terbukanya klep ketertutupan ini pasca 1998, perlahan kebudayaan Cina mulai kembali menunjukkan jatidirinya ditengah masyarakat Indonesia. Bahkan pada awal tahun 2000-an salah satu televisi swasta terkemuka ditanah air mulai menayangkan berita berbahasa Mandarin setiap hari dengan durasi setengah jam dan berlangsung hingga kini. Aneka macam budaya Cina-pun mulai kembali ditekuni seperti makin maraknya grup Barongsai yang anggotanya bukan hanya dari etnis Tionghoa, melainkan juga dari kalangan pribumi tanpa memandang asal usul dan agamanya (pendek kata kesenian Barongsai sudah menjadi milik bersama), Wushu, Kungfu dan kursus bahasa Mandarin.

Kebangkitan Budaya Minoritas
Belakangan kian banyak keturunan Cina Indonesia yang dengan terbuka menyebut dirinya sebagai etnis Tionghoa. Kendati sebenarnya mereka berasal dari suku Hokkien, Hokchia, Teochew, Hakka (Ge), Kanton, Mandarin dan sebagainya, namun di Indonesia mereka dianggap satu sebagai etnis Cina alias Tionghoa (atau kalau di Metrotv disebut Chaina.. sebunyi dengan Caina bahasa Sunda yang artinya ‘airnya’). Kesadaran ini muncul seperti dengan keterbukaan mereka menyebut diri sebagai umat Tri Dharma (khususnya Konghuchu) dan mengganti agama dalam KTP mereka dengan Konghuchu.
Segala sesuatu yang berbau Cina kini sudah menjadi kelaziman, kendati huruf Cina hanya muncul sporadis tidak seperti di Malaysia atau Singapura. Kesadaran ini mirip dengan kebangkitan suku Cornish di Inggris Barat Daya (daerah Penzance) yang berusaha membangkitkan kembali Bahasa Cornish setelah dua abad menghilang dan mulai membuahkan hasil dengan diakuinya bahasa Cornish sebagai bahasa daerah di Inggris Raya.
Tentunya budaya Cina di Indonesia ini akan berbeda dengan yang ada di Malaysia, karena secara sejarah dan sosio-politik keduanya sudah terpecah dan identitas keindonesiaan dikalangan etnis Tionghoa inipun bervariasi pada setiap individunya. Tapi, yang bisa diambil sebagai garis besar, etnis Cina Indonesia dalam banyak hal bisa jauh lebih nasionalis dibanding dengan orang pribumi Indonesia sendiri. Banyak kisah yang menyebutkan bahwa orang Cina Indonesia dimancanegara mengidentifikasi dirinya sebagai orang Indonesia. Bangsa Indonesia bersuku Tionghoa.
Pada Tahun Harimau ini, mudah-mudahan terjadi perubahan berarti. Apalagi dengan semakin diakuinya aneka budaya khas Tionghoa diberbagai segi hidup masyarakat Indonesia, diharapkan akan membentuk suatu harmonisasi yang luar biasa, pembauran yang hakiki, bukan pembauran semu seperti yang terjadi selama era sebelumnya. Meski stereotype dan diskriminasi masih ada.
Dalam contoh kecil ditempat saya kuliah, saya bisa melihat betapa mahasiswa pribumi dan mahasiswa keturunan Cina bisa membaur dengan gayengnya. Tidak ada pengkotak-kotakan pergaulan berdasarkan ras dengan menggunakan bahasa persatuan yang sama dan tentunya visi perkawanan yang sebangun. Budaya minoritas (berlaku juga pada budaya-budaya daerah) bukan ancaman bagi persatuan bangsa, sepanjang bisa diatur dengan sebaik-baiknya dan tetap pada koridor sebagai pemerkaya budaya bangsa Indonesia.
Saya bangga dengan kemajemukan, kendati mengalami proses asimilasi (baik asimilasi parsial atau total) tentunya setiap minoritas berhak mempertahankan meski sebagian dari budaya leluhurnya. Revitalisasi budaya seperti budaya Cina ini tidak perlu ditakuti, karena toh mereka sudah menyatakan dan merasa memiliki Indonesia ini sebagai tanah tumpah darah mereka, bukan Chungkuo atau Tiongkok yang merupakan tanah asal leluhur mereka.





 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar