Legenda
REOG PONOROGO dan WAROK
Salah
satu ciri khas seni budaya Kabupaten Ponorogo Jawa Timur adalah kesenian Reog
Ponorogo. Reog, sering diidentikkan dengan dunia hitam, preman atau jagoan
serta tak lepas pula dari dunia mistis dan kekuatan supranatural. Reog
mempertontonkan keperkasaan pembarong dalam mengangkat dadak merak seberat
sekitar 50 kilogram dengan kekuatan gigitan gigi sepanjang pertunjukan
berlangsung. Instrumen pengiringnya, kempul, ketuk, kenong, genggam, ketipung,
angklung dan terutama salompret, menyuarakan nada slendro dan pelog yang
memunculkan atmosfir mistis, unik, eksotis serta membangkitkan semangat. Satu
group Reog biasanya terdiri dari seorang Warok Tua, sejumlah warok muda,
pembarong dan penari Bujang Ganong dan Prabu Kelono Suwandono. Jumlah kelompok
reog berkisar antara 20 hingga 30-an orang, peran utama berada pada tangan
warok dan pembarongnya.
Pembarong dengan Dadak Merak © 2005 arie saksono
Seorang
pembarong, harus memiliki kekuatan ekstra. Dia harus mempunyai kekuatan rahang
yang baik, untuk menahan dengan gigitannya beban “Dadak Merak” yakni sebentuk
kepala harimau dihiasi ratusan helai bulu-bulu burung merak setinggi dua meter
yang beratnya bisa mencapai 50-an kilogram selama masa pertunjukan. Konon
kekuatan gaib sering dipakai pembarong untuk menambah kekuatan ekstra ini,
salah satunya dengan cara memakai susuk, di leher pembarong. Untuk menjadi
pembarong tidak cukup hanya dengan tubuh yang kuat. Seorang pembarong pun harus
dilengkapi dengan sesuatu yang disebut kalangan pembarong dengan wahyu yang
diyakini para pembarong sebagai sesuatu yang amat penting dalam hidup mereka.
Tanpa diberkati wahyu, tarian yang ditampilkan seorang pembarong tidak akan
tampak luwes dan enak untuk ditonton. Namun demikian persepsi misitis pembarong
kini digeser dan lebih banyak dilakukan dengan pendekatan rasional. Menurut
seorang sesepuh Reog, Mbah Wo Kucing “Reog itu nggak perlu ndadi. Kalau
ndadi itu ya namanya bukan reog, itu jathilan. Dalam reog, yang perlu kan
keindahannya“.
Legenda
Cerita Reog
Reog
dimanfaatkan sebagai sarana mengumpulkan massa dan merupakan saluran komunikasi
yang efektif bagi penguasa pada waktu itu. Ki Ageng Mirah kemudian membuat
cerita legendaris mengenai Kerajaan Bantaranangin yang oleh sebagian besar
masyarakat Ponorogo dipercaya sebagai sejarah. Adipati Batorokatong yang
beragama Islam juga memanfaatkan barongan ini untuk menyebarkan agama Islam.
Nama Singa Barongan kemudian diubah menjadi Reog, yang berasal dari kata
Riyoqun, yang berarti khusnul khatimah yang bermakna walaupun sepanjang
hidupnya bergelimang dosa, namun bila akhirnya sadar dan bertaqwa kepada Allah,
maka surga jaminannya. Selanjutnya kesenian reog terus berkembang seiring
dengan perkembangan zaman. Kisah reog terus menyadur cerita ciptaan Ki Ageng
Mirah yang diteruskan mulut ke mulut, dari generasi ke generasi.
Menurut
legenda Reog atau Barongan bermula dari kisah Demang Ki Ageng Kutu Suryonggalan
yang ingin menyindir Raja Majapahit, Prabu Brawijaya V. Sang Prabu pada waktu
itu sering tidak memenuhi kewajibannya karena terlalu dipengaruhi dan
dikendalikan oleh sang permaisuri. Oleh karena itu dibuatlah barongan yang
terbuat dari kulit macan gembong (harimau Jawa) yang ditunggangi burung merak.
Sang prabu dilambangkan sebagai harimau sedangkan merak yang menungganginya
melambangkan sang permaisuri. Selain itu agar sindirannya tersebut aman, Ki
Ageng melindunginya dengan pasukan terlatih yang diperkuat dengan jajaran para
warok yang sakti mandraguna. Di masa kekuasaan Adipati Batorokatong yang
memerintah Ponorogo sekitar 500 tahun lalu, reog mulai berkembang menjadi
kesenian rakyat. Pendamping Adipati yang bernama Ki Ageng Mirah menggunakan
reog untuk mengembangkan kekuasaannya.
Reog
mengacu pada beberapa babad, Salah satunya adalah babad Kelana Sewandana. Babad
Klana Sewandana yang konon merupakan pakem asli seni pertunjukan reog. Mirip
kisah Bandung Bondowoso dalam legenda Lara Jongrang, Babad Klono Sewondono juga
berkisah tentang cinta seorang raja, Sewondono dari Kerajaan Jenggala, yang
hampir ditolak oleh Dewi Sanggalangit dari Kerajaan Kediri. Sang putri meminta
Sewondono untuk memboyong seluruh isi hutan ke istana sebagai mas kawin. Demi
memenuhi permintaan sang putri, Sewandono harus mengalahkan penunggu hutan,
Singa Barong (dadak merak). Namun hal tersebut tentu saja tidak mudah. Para
warok, prajurit, dan patih dari Jenggala pun menjadi korban. Bersenjatakan
cemeti pusaka Samandiman, Sewondono turun sendiri ke gelanggang dan mengalahkan
Singobarong. Pertunjukan reog digambarkan dengan tarian para prajurit yang tak
cuma didominasi para pria tetapi juga wanita, gerak bringasan para warok, serta
gagah dan gebyar kostum Sewandana, sang raja pencari cinta.
Versi
lain dalam Reog Ponorogo mengambil kisah Panji. Ceritanya berkisar tentang
perjalanan Prabu Kelana Sewandana mencari gadis pujaannya, ditemani prajurit
berkuda dan patihnya yang setia, Pujangganong. Ketika pilihan sang prabu jatuh
pada putri Kediri, Dewi Sanggalangit, sang dewi memberi syarat bahwa ia akan
menerima cintanya apabila sang prabu bersedia menciptakan sebuah kesenian baru.
Dari situ terciptalah Reog Ponorogo. Huruf-huruf reyog mewakili sebuah huruf
depan kata-kata dalam tembang macapat Pocung yang berbunyi: Rasa kidung/
Ingwang sukma adiluhung/ Yang Widhi/ Olah kridaning Gusti/ Gelar gulung
kersaning Kang Maha Kuasa. Unsur mistis merupakan kekuatan spiritual yang
memberikan nafas pada kesenian Reog Ponorogo.
Warok
Warok
sampai sekarang masih mendapat tempat sebagai sesepuh di masyarakatnya.
Kedekatannya dengan dunia spiritual sering membuat seorang warok dimintai
nasehatnya atas sebagai pegangan spiritual ataupun ketentraman hidup. Seorang
warok konon harus menguasai apa yang disebut Reh Kamusankan Sejati, jalan
kemanusiaan yang sejati.
Warok dalam pertunjukan Reog Ponorogo © 2005 arie saksono
Warok
adalah pasukan yang bersandar pada kebenaran dalam pertarungan antara kebaikan
dan kejahatan dalam cerita kesenian reog. Warok Tua adalah tokoh pengayom,
sedangkan Warok Muda adalah warok yang masih dalam taraf menuntut ilmu. Hingga
saat ini, Warok dipersepsikan sebagai tokoh yang pemerannya harus memiliki
kekuatan gaib tertentu. Bahkan tidak sedikit cerita buruk seputar kehidupan
warok. Warok adalah sosok dengan stereotip: memakai kolor, berpakaian
hitam-hitam, memiliki kesaktian dan gemblakan.Menurut sesepuh warok, Kasni
Gunopati atau yang dikenal Mbah Wo Kucing, warok bukanlah seorang yang takabur
karena kekuatan yang dimilikinya. Warok adalah orang yang mempunyai tekad suci,
siap memberikan tuntunan dan perlindungan tanpa pamrih. “Warok itu berasal dari
kata wewarah. Warok adalah wong kang sugih wewarah. Artinya, seseorang menjadi
warok karena mampu memberi petunjuk atau pengajaran kepada orang lain tentang
hidup yang baik”.“Warok iku wong kang wus purna saka sakabehing laku, lan
wus menep ing rasa” (Warok adalah orang yang sudah sempurna dalam laku hidupnya,
dan sampai pada pengendapan batin).
Syarat
menjadi Warok
Warok
harus menjalankan laku. “Syaratnya, tubuh harus bersih karena akan diisi. Warok
harus bisa mengekang segala hawa nafsu, menahan lapar dan haus, juga tidak
bersentuhan dengan perempuan. Persyaratan lainnya, seorang calon warok harus
menyediakan seekor ayam jago, kain mori 2,5 meter, tikar pandan, dan selamatan
bersama. Setelah itu, calon warok akan ditempa dengan berbagai ilmu kanuragan
dan ilmu kebatinan. Setelah dinyatakan menguasai ilmu tersebut, ia lalu
dikukuhkan menjadi seorang warok sejati. Ia memperoleh senjata yang disebut
kolor wasiat, serupa tali panjang berwarna putih, senjata andalan para warok.
Warok sejati pada masa sekarang hanya menjadi legenda yang tersisa. Beberapa kelompok
warok di daerah-daerah tertentu masih ada yang memegang teguh budaya mereka dan
masih dipandang sebagai seseorang yang dituakan dan disegani, bahkan kadang
para pejabat pemerintah selalu meminta restunya.
Gemblakan
Selain
segala persyaratan yang harus dijalani oleh para warok tersebut, selanjutnya
muncul disebut dengan Gemblakan. Dahulu warok dikenal mempunyai banyak
gemblak, yaitu lelaki belasan tahun usia 12-15 tahun berparas tampan dan
terawat yang dipelihara sebagai kelangenan, yang kadang lebih disayangi
ketimbang istri dan anaknya. Memelihara gemblak adalah tradisi yang telah
berakar kuat pada komunitas seniman reog. Bagi seorang warok hal tersebut
adalah hal yang wajar dan diterima masyarakat. Konon sesama warok pernah beradu
kesaktian untuk memperebutkan seorang gemblak idaman dan selain itu kadang
terjadi pinjam meminjam gemblak. Biaya yang dikeluarkan warok untuk seorang
gemblak tidak murah. Bila gemblak bersekolah maka warok yang memeliharanya
harus membiayai keperluan sekolahnya di samping memberinya makan dan tempat
tinggal. Sedangkan jika gemblak tidak bersekolah maka setiap tahun warok
memberikannya seekor sapi. Dalam tradisi yang dibawa oleh Ki Ageng Suryongalam,
kesaktian bisa diperoleh bila seorang warok rela tidak berhubungan seksual dengan
perempuan. Hal itu konon merupakan sebuah keharusan yang berasal dari perintah
sang guru untuk memperoleh kesaktian.
Kewajiban
setiap warok untuk memelihara gemblak dipercaya agar bisa mempertahankan
kesaktiannya. Selain itu ada kepercayaan kuat di kalangan warok, hubungan intim
dengan perempuan biarpun dengan istri sendiri, bisa melunturkan seluruh
kesaktian warok. Saling mengasihi, menyayangi dan berusaha menyenangkan
merupakan ciri khas hubungan khusus antara gemblak dan waroknya. Praktik gemblakan
di kalangan warok, diidentifikasi sebagai praktik homoseksual karena warok tak
boleh mengumbar hawa nafsu kepada perempuan.
Saat ini
memang sudah terjadi pergeseran dalam hubungannya dengan gemblakan. Di masa
sekarang gemblak sulit ditemui. Tradisi memelihara gemblak, kini semakin
luntur. Gemblak yang dahulu biasa berperan sebagai penari jatilan (kuda
lumping), kini perannya digantikan oleh remaja putri. Padahal dahulu kesenian
ini ditampilkan tanpa seorang wanita pun.
Reog di
masa sekarang
Seniman Reog
Ponorogo lulusan sekolah-sekolah seni turut memberikan sentuhan pada
perkembangan tari reog ponorogo. Mahasiswa sekolah seni memperkenalkan estetika
seni panggung dan gerakan-gerakan koreografis, maka jadilah reog ponorogo
dengan format festival seperti sekarang. Ada alur cerita, urut-urutan siapa
yang tampil lebih dulu, yaitu Warok, kemudian jatilan, Bujangganong, Klana
Sewandana, barulah Barongan atau Dadak Merak di bagian akhir. Saat salah satu
unsur tersebut beraksi, unsur lain ikut bergerak atau menari meski tidak
menonjol. Beberapa tahun yang lalu Yayasan Reog Ponorogo memprakarsai
berdirinya Paguyuban Reog Nusantara yang anggotanya terdiri atas grup-grup reog
dari berbagai daerah di Indonesia yang pernah ambil bagian dalam Festival Reog
Nasional. Reog ponorogo menjadi sangat terbuka akan pengayaan dan perubahan
ragam geraknya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar