Budaya warga Tionghoa yang telah dikenal baik di Indonesia mencakup kuliner, kesenian, musik, alat musik, perayaan-perayaan, bahasa, dan pakaian.
Kuliner
Berikut ini adalah jenis-jenis makanan khas Tionghoa yang populer di Indonesia:Kue bulan / Tiong Chiu Pia
Bakcang
Lumpia
Siomay
Bakpao
Bakso
Mie
Tahu Pong
Kue Keranjang
Perayaan
Tahun Baru Imlek
Masyarakat keturunan Tionghoa di Indonesia kembali mendapatkan kebebasan merayakan tahun baru Imlek pada tahun 2000 ketika Presiden Abdurrahman Wahid mencabut Inpres Nomor 14/1967. Kemudian Presiden Megawati Soekarnoputri menindaklanjutinya dengan mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 19/2002 tertanggal 9 April 2002 yang meresmikan Imlek sebagai hari libur nasional. Mulai 2003, Imlek resmi dinyatakan sebagai salah satu hari libur nasional.
Festival Lampion
Cap Go Meh
Bahasa
Bahasa Tionghoa
Bahasa Tionghoa memiliki banyak varian vokal atau lisan, namun secara tertulis hanya satu. Variasi tersebut tergantung kedaerahan, sehingga bisa dikatakan sebagai bahasa daerah atau dialek.Sekitar 1/5 penduduk dunia menggunakan salah satu bentuk bahasa Tionghoa sebagai penutur asli, maka jika dianggap satu bahasa, bahasa Tionghoa merupakan bahasa dengan jumlah penutur asli terbanyak di dunia. Bahasa Tionghoa (dituturkan dalam bentuk standarnya, Mandarin) adalah bahasa resmi Tiongkok dan Taiwan, salah satu dari empat bahasa resmi Singapura, dan salah satu dari enam bahasa resmi PBB.
Pakaian
Cheongsam
Mudah dikenakan dan nyaman, bentuk pakaian Cheongsam cocok dengan bentuk tubuh wanita etnis Tionghoa. Leher tinggi, lengkung leher baju tertutup, dan lengan baju bisa pendek, sedang atau panjang, tergantung musim dan selera pemakainya. Memiliki kancing di sisi kanan, bagian dada longgar, selayak di pinggang, dan salah satu sisi di bagian pahanya terbelah, yang kesemuanya semakin menonjolkan kecantikan dari wanita yang mengenakannya. Cheongsam tidak terlalu susah dibuat. Tidak pula memiliki banyak perlengkapan, seperti sabuk, atau selendang. Cheongsam adalah dapat dibuat dari berbagai macam bahan dan memiliki keragaman panjang, dapat digunakan secara santai atau resmi.
Ritual
Budaya Teh Tionghoa
Ceng Beng / Festival Qingming
Barongsai
Barongsai secara garis besar terdiri dari 2 jenis yakni: Singa Utara yang memiliki surai ikal dan berkaki empat. Penampilan Singa Utara kelihatan lebih natural dan mirip singa ketimbang Singa Selatan yang memiliki sisik serta jumlah kaki yang bervariasi antara dua atau empat. Kepala Singa Selatan dilengkapi dengan tanduk sehingga kadangkala mirip dengan binatang "Kilin".
Gerakan antara Singa Utara dan Singa Selatan juga berbeda. Bila Singa Selatan terkenal dengan gerakan kepalanya yang keras dan melonjak-lonjak seiring dengan tabuhan gong dan tambur, gerakan Singa Utara cenderung lebih lincah dan penuh dinamika karena memiliki empat kaki.
Satu gerakan utama dari tarian Barongsai ini adalah gerakan singa memakan amplop berisi uang yang disebut dengan istilah "Lay See". Di atas amplop tersebut biasanya ditempeli dengan sayuran (selada air) yang melambangkan hadiah bagi sang Singa. Proses memakan "Lay See", istilah ini banyak digunakan di Hongkong, ini berlangsung sekitar separuh bagian dari seluruh tarian Singa.
Pertunjukan Wayang Potehi
Dulunya Wayang Potehi hanya memainkan lakon-lakon yang berasal dari kisah klasik daratan Tiongkok seperti kisah legenda dinasti-dinasti yang ada di Tiongkok, terutama jika dimainkan di dalam kelenteng. Akan tetapi saat ini Wayang Potehi sudah mengambil cerita-cerita di luar kisah klasik. Pada masa masuknya pertama kali di Indonesia, wayang potehi dimainkan dalam Bahasa Hokkian. Seiring dengan perkembangan zaman, wayang ini pun kemudian juga dimainkan dalam Bahasa Indonesia.
Alat Musik
Alat musik tradisional Tionghoa dapat dimainkan secara solo, ataupun secara bersama-sama dalam sebuah orkes yang besar (seperti zaman dahulu di istana kerajaan) atau dalam grup-grup musik kecil. Jaman dahulu tidak ada konduktor di ensambel musik Tionghoa, ataupun penggunaan partitur musik pada saat pentas. Musik biasanya telah dihapalkan oleh pemusiknya, kemudian dimainkan tanpa alat bantu, sehingga kerjasama tim amat sangat dibutuhkan. Tapi zaman sekarang ini partitur ataupun konduktor dibutuhkan, apabila jumlah pemusik cukup banyak. Berikut adalah jenis-jenis alat musik tradisional Tionghoa:Alat Musik Gesek
Erhu
Gaohu
Gehu
Banhu
Alat Musik Petik
Liuqin
Yangqin
Pipa
Ruan
Sanxian
Guzheng
Konghou
Alat Musik Tiup
Dizi
Souna
Sheng
Xiao
Paixiao
Alat Musik Pukul (Perkusi)
Paigu
Dagu
Tambur besar.Chazi
Simbal, cengceng.Luo
Muyu
.
Tahun Baru Imlek, Kebudayaan Cina di Indonesia
Sudah sepuluh kali terakhir ini kalau tidak salah Tahun Baru Imlek alias Tahun Baru Cina dijadikan sebagai bagian dari hari libur Nasional Republik Indonesia. Era KH Abdurrachman Wahid merupakan penyegaran dan cahaya baru
khususnya bagi etnis Tionghoa yang ada di Indonesia, setelah lebih dari
30 tahun tidak diperbolehkan menunjukkan jatidirinya sebagai suatu suku
bangsa. Masih segar dalam ingatan, sebelum tahun 1998, apa saja yang
berbau Cina dianggap tidak nasionalis, tidak patriotik, dan dalam banyak
hal dikait-kaitkan dengan komunisme di RRC. Hal ini berlangsung ketika
hubungan Indonesia dengan Cina terputus pada tahun 1966 dan baru
mengalami perbaikan pada tahun 1989.
Pelarangan atas segala macam hal berbau Cina berlangsung dalam banyak
cara. Seperti keharusan mengganti nama dari nama Cina ke nama Indonesia
atau nama Cina yang diindonesiakan, pelarangan agama Konghuchu sehingga
etnis Tionghoa harus memilih salah satu dari lima agama yang diakui di
Indonesia, penutupan sekolah-sekolah berbahasa Cina sampai dilarangnya
penggunaan bahasa Cina secara meluas diseluruh Indonesia, serta
perlakuan-perlakuan diskriminatif lainnya seperti dipersulitnya mereka
memasuki ranah politik, militer dan bahkan hingga masalah
kewarganegaraan dimana untuk mengurus KTP saja harus menunjukkan surat
bukti kewarganegaraan Indonesia (yang seharusnya tidak perlu, karena mereka yang kelahiran Indonesia secara otomatis adalah WNI). Warna Cina hanya nampak pada klenteng-klenteng yang pada masa Orde Baru sangat terbatas kegiatannya. Kendati Feng Shui (atau bahasa selatannya Hong Shui)
Tapi dengan terbukanya klep ketertutupan
ini pasca 1998, perlahan kebudayaan Cina mulai kembali menunjukkan
jatidirinya ditengah masyarakat Indonesia. Bahkan pada awal tahun
2000-an salah satu televisi swasta terkemuka ditanah air mulai
menayangkan berita berbahasa Mandarin setiap hari dengan durasi setengah
jam dan berlangsung hingga kini. Aneka macam budaya Cina-pun mulai
kembali ditekuni seperti makin maraknya grup Barongsai yang anggotanya bukan hanya dari etnis Tionghoa, melainkan juga dari kalangan pribumi tanpa memandang asal usul dan agamanya (pendek kata kesenian Barongsai sudah menjadi milik bersama), Wushu, Kungfu dan kursus bahasa Mandarin.
Kebangkitan Budaya Minoritas
Belakangan kian banyak keturunan Cina
Indonesia yang dengan terbuka menyebut dirinya sebagai etnis Tionghoa.
Kendati sebenarnya mereka berasal dari suku Hokkien, Hokchia, Teochew, Hakka (Ge), Kanton, Mandarin dan sebagainya, namun di Indonesia mereka dianggap satu sebagai etnis Cina alias Tionghoa (atau kalau di Metrotv disebut Chaina.. sebunyi dengan Caina bahasa Sunda yang artinya ‘airnya’). Kesadaran ini muncul seperti dengan keterbukaan mereka menyebut diri sebagai umat Tri Dharma (khususnya Konghuchu) dan mengganti agama dalam KTP mereka dengan Konghuchu.
Segala sesuatu yang berbau Cina kini
sudah menjadi kelaziman, kendati huruf Cina hanya muncul sporadis tidak
seperti di Malaysia atau Singapura. Kesadaran ini mirip dengan
kebangkitan suku Cornish di Inggris Barat Daya (daerah Penzance)
yang berusaha membangkitkan kembali Bahasa Cornish setelah dua abad
menghilang dan mulai membuahkan hasil dengan diakuinya bahasa Cornish
sebagai bahasa daerah di Inggris Raya.
Tentunya budaya Cina di Indonesia ini
akan berbeda dengan yang ada di Malaysia, karena secara sejarah dan
sosio-politik keduanya sudah terpecah dan identitas keindonesiaan
dikalangan etnis Tionghoa inipun bervariasi pada setiap individunya.
Tapi, yang bisa diambil sebagai garis besar, etnis Cina Indonesia dalam banyak hal bisa jauh lebih nasionalis dibanding dengan orang pribumi Indonesia sendiri. Banyak kisah yang menyebutkan bahwa orang Cina Indonesia dimancanegara mengidentifikasi dirinya sebagai orang Indonesia. Bangsa Indonesia bersuku Tionghoa.
Pada Tahun Harimau ini, mudah-mudahan
terjadi perubahan berarti. Apalagi dengan semakin diakuinya aneka budaya
khas Tionghoa diberbagai segi hidup masyarakat Indonesia, diharapkan
akan membentuk suatu harmonisasi yang luar biasa, pembauran yang hakiki,
bukan pembauran semu seperti yang terjadi selama era sebelumnya. Meski stereotype dan diskriminasi masih ada.
Dalam contoh kecil ditempat saya kuliah, saya bisa melihat betapa mahasiswa pribumi dan mahasiswa keturunan Cina bisa membaur dengan gayengnya.
Tidak ada pengkotak-kotakan pergaulan berdasarkan ras dengan
menggunakan bahasa persatuan yang sama dan tentunya visi perkawanan yang
sebangun. Budaya minoritas (berlaku juga pada budaya-budaya daerah)
bukan ancaman bagi persatuan bangsa, sepanjang bisa diatur dengan
sebaik-baiknya dan tetap pada koridor sebagai pemerkaya budaya bangsa
Indonesia.
Saya bangga dengan kemajemukan, kendati mengalami proses asimilasi (baik asimilasi parsial atau total)
tentunya setiap minoritas berhak mempertahankan meski sebagian dari
budaya leluhurnya. Revitalisasi budaya seperti budaya Cina ini tidak
perlu ditakuti, karena toh mereka sudah menyatakan dan merasa memiliki
Indonesia ini sebagai tanah tumpah darah mereka, bukan Chungkuo atau
Tiongkok yang merupakan tanah asal leluhur mereka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar