Budaya Tionghoa merupakan budaya yang paling tua dan kompleks di
dunia. Di Indonesia, warga negara keturunan Tionghoa, dapat ditemui
hampir di semua kota di Indonesia. Karena orang Tionghoa sudah banyak
tersebar di Indonesia, maka tidak heran
kebudayaan Tionghoa
banyak dikenal luas. Terlebih lagi, banyak klenteng yang dibangun di
berbagai kota yang membuat semua lapisan masyarakat lama kelamaan mulai
mengerti ritual dan budaya Tionghoa.
Budaya warga Tionghoa yang telah dikenal baik di Indonesia mencakup
kuliner, kesenian, musik, alat musik, perayaan-perayaan, bahasa, dan
pakaian.
Kuliner
Berikut ini adalah jenis-jenis makanan khas Tionghoa yang populer di Indonesia:
Kue bulan / Tiong Chiu Pia
Dasarnya berbentuk bulat, yang melambangkan kebulatan dan keutuhan.
Namun seiring perkembangan zaman, bentuk-bentuk lainnya muncul menambah
variasi dalam komersialisasi kue bulan. Perkataan Tiong Chiu sendiri
berasal dari kata "Tiong" berarti tengah dan "Chiu" berarti musim
rontok, jadi boleh dikatakan sebutan Tiong Chiu arti secara harafiahnya
berarti pertengahan musim rontok. Namun demikian masyarakat lebih kenal
dengan sembahyang Tiong Chiu Pia, walaupun sebenarnya penyebutan ini
tidak tepat namun kenyataan dalam kebiasaan masyarakat tetap demikian.
Bakcang
Makanan dalam bungkusan daun, isinya ketan atau nasi yang ditambah
daging dan isi lainnya sesuai selera. Di Tiongkok, bakcang disebut
Zongzi. "Duan Wu Jie" adalah hari raya dimana umumnya orang makan
bakcang. Pada hari itu dijual bermacam-macam bakcang dan semua warga,
baik tua maupun muda, besar atau kecil, semua makan bakcang.
Lumpia
Memiliki ciri khas pada bahan bakunya, yaitu rebung. Selain rebung
dari bambu muda, beberapa bahan yang juga utama adalah udang dan telur,
termasuk tepung terigu yang digunakan sebagai pembungkus.
Siomay
Makanan yang terbuat dari terigu diisi campuran daging, udang dan
lain-lain. Terdapat banyak macam isi siomay mulai dari siomay ikan
tenggiri, ayam, udang, kepiting, atau campuran daging ayam dan udang.
Kulit siomay mirip dengan kulit pangsit.
Bakpao
Biasanya diisi dengan daging ayam, sayur-sayuran, srikaya manis,
coklat, selai kacang kedelai, kacang azuki, kacang hijau,dan sebagainya.
Bakpao yang berisi daging ayam dinamakan kehpao.
Bakso
Daging yang dicincang dan dibentuk menjadi bulat,biasanya daging yang
digunakan adalah daging sapi atau ikan. Bakso itu berasal dari bahasa
Tionghoa yang terdiri dari 2 kata, "Bak" dan "so", dimana "Bak" artinya
daging babi dan "So" itu mie + sup. Tapi kemudian di indonesia sendiri
daging babi itu dirubah menjadi daging sapi tetapi tetap menggunakan
kata Bak.
Mie
Dapat dibuat dari berbagai macam tepung seperti tepung terigu, tepung
beras, tepung kanji, tepung kacang hijau dan lain lain. Secara umum mie
dapat digolongkan menjadi dua, mie kering dan mie basah. Pada umumnya
mie basah adalah mie yang belum dimasak, kandungan airnya cukup tinggi
dan tidak tahan lama, jenis mie ini biasanya hanya tahan 1 hari.
Tahu Pong
Tahu yang tengahnya kosong. Tahu ini sebenarnya tahu biasa, seperti
tahu-tahu lain yang kita kenal. Bedanya karena proses pembuatan yang
sedikit berbeda, tingkat kepadatan akhir yang berbeda menyebabkan
bolong. Sewaktu mentah bentuknya juga sama seperti tahu biasa, tetapi
setelah digoreng, bagian tengahnya menyusut dan menjadi kopong / kosong.
Kue Keranjang
Kue yang terbuat dari tepung ketan dan gula, serta mempunyai tekstur
yang kenyal dan lengket. Kue ini merupakan salah satu kue khas atau
wajib pada saat
Perayaan Tahun Baru Imlek.
Kue ini dinamakan kue keranjang karena wadah cetaknya berbentuk
keranjang. Kalau dulu hanya dikenal kue keranjang dibungkus daun pisang,
maka kemudian, karena alasan praktis dan sulit mendapatkan daun pisang
dalam jumlah banyak, digunakan plastik untuk membungkus dodol khas imlek
ini.
Perayaan
Tahun Baru Imlek
Tahun Baru Imlek
merupakan perayaan terpenting orang Tionghoa. Perayaan Tahun Baru Imlek
dimulai di hari pertama bulan pertama (penanggalan Tionghoa) dan
berakhir dengan Cap Go Meh di tanggal ke lima belas (pada saat bulan
purnama). Malam tahun baru imlek dikenal sebagai Chuxi yang berarti
"malam pergantian tahun". Biasanya dirayakan dengan menyulut kembang
api. Di Indonesia pada tahun 1965 hingga 1998 perayaan tahun baru Imlek
dilarang dirayakan di depan umum. Dengan Instruksi Presiden Nomor 14
Tahun 1967, rezim Orde Baru di bawah pemerintahan Presiden Soeharto,
melarang segala hal yang berbau Tionghoa, di antaranya Imlek.
Masyarakat keturunan Tionghoa di Indonesia kembali mendapatkan
kebebasan merayakan tahun baru Imlek pada tahun 2000 ketika Presiden
Abdurrahman Wahid mencabut Inpres Nomor 14/1967. Kemudian Presiden
Megawati Soekarnoputri menindaklanjutinya dengan mengeluarkan Keputusan
Presiden Nomor 19/2002 tertanggal 9 April 2002 yang meresmikan Imlek
sebagai hari libur nasional. Mulai 2003, Imlek resmi dinyatakan sebagai
salah satu hari libur nasional.
Festival Lampion
Adalah
festival dengan hiasan lentera
yang dirayakan setiap tahunnya pada hari ke-15 bulan pertama (menurut
penanggalan Tionghoa). Festival inilah yang menandai berakhirnya
perayaan tahun baru Imlek. Festival ini biasanya dirayakan secara luas
di Tiongkok, Taiwan, Hongkong dan negara-negara yang terdapat komunitas
Tionghoa.
Cap Go Meh
Melambangkan hari ke-15 dan hari terakhir dari masa perayaan Imlek
bagi komunitas Tionghoa. Pada tanggal ini juga merupakan bulan penuh
pertama dalam Tahun Baru tersebut. Perayaan ini dirayakan dengan jamuan
besar dan berbagai kegiatan.
Bahasa
Bahasa Tionghoa
Bahasa Tionghoa memiliki banyak varian vokal atau lisan, namun secara
tertulis hanya satu. Variasi tersebut tergantung kedaerahan, sehingga
bisa dikatakan sebagai bahasa daerah atau dialek.
Sekitar 1/5 penduduk dunia menggunakan salah satu bentuk bahasa
Tionghoa sebagai penutur asli, maka jika dianggap satu bahasa, bahasa
Tionghoa merupakan bahasa dengan jumlah penutur asli terbanyak di dunia.
Bahasa Tionghoa (dituturkan dalam bentuk standarnya, Mandarin) adalah
bahasa resmi Tiongkok dan Taiwan, salah satu dari empat bahasa resmi
Singapura, dan salah satu dari enam bahasa resmi PBB.
Pakaian
Cheongsam
Merupakan pakaian wanita dengan corak bangsa Tionghoa. Nama "
Cheongsam" berarti "pakaian panjang", diterjemahkan ke dalam Bahasa Inggris dari dialek Propinsi Guangdong (Canton) di Tiongkok.
Mudah dikenakan dan nyaman, bentuk pakaian Cheongsam cocok dengan
bentuk tubuh wanita etnis Tionghoa. Leher tinggi, lengkung leher baju
tertutup, dan lengan baju bisa pendek, sedang atau panjang, tergantung
musim dan selera pemakainya. Memiliki kancing di sisi kanan, bagian dada
longgar, selayak di pinggang, dan salah satu sisi di bagian pahanya
terbelah, yang kesemuanya semakin menonjolkan kecantikan dari wanita
yang mengenakannya. Cheongsam tidak terlalu susah dibuat. Tidak pula
memiliki banyak perlengkapan, seperti sabuk, atau selendang. Cheongsam
adalah dapat dibuat dari berbagai macam bahan dan memiliki keragaman
panjang, dapat digunakan secara santai atau resmi.
Ritual
Budaya Teh Tionghoa
Minum teh telah menjadi semacam ritual di kalangan masyarakat
Tionghoa. Di Tiongkok, budaya minum teh dikenal sejak 3.000 tahun
sebelum Masehi (SM). Bahkan, berlanjut di Jepang (1192 รข€“ 1333) oleh
pengikut Zen. Minum teh dapat menetralisasi kadar lemak dalam darah,
setelah mengonsumsi makanan yang mengandung lemak.
Ceng Beng / Festival Qingming
Adalah ritual tahunan etnis Tionghoa untuk bersembahyang dan ziarah ke kuburan sesuai dengan ajaran Khonghucu.
Festival Tionghoa
ini jatuh pada hari ke 104 setelah titik balik matahari pada musim
dingin. Bagi etnis Tionghoa, hari ini merupakan suatu hari untuk
mengingat dan menghormati nenek moyang. Setiap orang berdoa di depan
nenek moyang, menyapu pusara dan bersembahyang dengan menyajikan
makanan, teh, arak, dupa, kertas sembahyang dan berbagai aksesoris,
sebagai persembahan kepada nenek moyang.
Barongsai
Adalah tarian tradisional Tionghoa dengan menggunakan kostum yang
menyerupai singa. Masyarakat Tionghoa percaya bahwa singa adalah lambang
kebahagiaan dan kesenangan. Tarian ini dipercaya merupakan pertunjukan
yang dapat membawa keberuntungan sehingga umumnya diadakan pada berbagai
acara penting seperti pembukaan restoran, pendirian klenteng, dan tentu
saja perayaan Tahun Baru Imlek.
Barongsai secara garis besar terdiri dari 2 jenis yakni: Singa Utara
yang memiliki surai ikal dan berkaki empat. Penampilan Singa Utara
kelihatan lebih natural dan mirip singa ketimbang Singa Selatan yang
memiliki sisik serta jumlah kaki yang bervariasi antara dua atau empat.
Kepala Singa Selatan dilengkapi dengan tanduk sehingga kadangkala mirip
dengan binatang "Kilin".
Gerakan antara Singa Utara dan Singa Selatan juga berbeda. Bila Singa
Selatan terkenal dengan gerakan kepalanya yang keras dan
melonjak-lonjak seiring dengan tabuhan gong dan tambur, gerakan Singa
Utara cenderung lebih lincah dan penuh dinamika karena memiliki empat
kaki.
Satu gerakan utama dari tarian Barongsai ini adalah gerakan singa
memakan amplop berisi uang yang disebut dengan istilah "Lay See". Di
atas amplop tersebut biasanya ditempeli dengan sayuran (selada air) yang
melambangkan hadiah bagi sang Singa. Proses memakan "Lay See", istilah
ini banyak digunakan di Hongkong, ini berlangsung sekitar separuh bagian
dari seluruh tarian Singa.
Pertunjukan Wayang Potehi
Potehi berasal dari kata "poo" (kain), "tay" (kantung) dan "hie"
(wayang). Wayang Potehi adalah wayang boneka yang terbuat dari kain.
Sang dalang akan memasukkan tangan mereka ke dalam kain tersebut dan
memainkannya layaknya wayang jenis lain. Kesenian ini sudah berumur
sekitar 3.000 tahun dan berasal dari daratan Tiongkok asli.
Dulunya Wayang Potehi hanya memainkan lakon-lakon yang berasal dari
kisah klasik daratan Tiongkok seperti kisah legenda dinasti-dinasti yang
ada di Tiongkok, terutama jika dimainkan di dalam kelenteng. Akan
tetapi saat ini Wayang Potehi sudah mengambil cerita-cerita di luar
kisah klasik. Pada masa masuknya pertama kali di Indonesia, wayang
potehi dimainkan dalam Bahasa Hokkian. Seiring dengan perkembangan
zaman, wayang ini pun kemudian juga dimainkan dalam Bahasa Indonesia.
Alat Musik
Alat musik tradisional
Tionghoa
dapat dimainkan secara solo, ataupun secara bersama-sama dalam sebuah
orkes yang besar (seperti zaman dahulu di istana kerajaan) atau dalam
grup-grup musik kecil. Jaman dahulu tidak ada konduktor di ensambel
musik Tionghoa, ataupun penggunaan partitur musik pada saat pentas.
Musik biasanya telah dihapalkan oleh pemusiknya, kemudian dimainkan
tanpa alat bantu, sehingga kerjasama tim amat sangat dibutuhkan. Tapi
zaman sekarang ini partitur ataupun konduktor dibutuhkan, apabila jumlah
pemusik cukup banyak. Berikut adalah jenis-jenis alat musik tradisional
Tionghoa:
Alat Musik Gesek
Erhu
Rebab Tionghoa, badannya menggunakan kulit ular sebagai membran,
menggunakan 2 senar, yang digesek dengan penggesek terbuat dari ekor
kuda.
Gaohu
Sejenis dengan Erhu, hanya dengan nada lebih tinggi.
Gehu
Alat musik gesek untuk nada rendah, seperti Cello.
Banhu
Rebab Tionghoa, dengan badan terbuat dari batok kelapa dengan papan kayu sebagai membrannya.
Alat Musik Petik
Liuqin
Alat musik petik kecil bentuknya seperti buah pir dengan 4 senar.
Yangqin
Alat musik ini memiliki banyak senar, cara memainkannya dengan memukul dengan stik bambu sebagai pemukulnya.
Pipa
Alat musik petik berbentuk buah pir dengan 4 atau 5 senar.
Ruan
Alat musik petik berbentuk bulat dengan 4 senar.
Sanxian
Alat musik petik dengan badan terbuat dari kulit ular dan dengan leher panjang, memiliki 3 senar.
Guzheng
Kecapi yang memiliki 16 - 26 senar.
Konghou
Harpa Tiongkok.
Alat Musik Tiup
Dizi
Suling dengan menggunakan membran getar.
Souna
Terompet Tiongkok.
Sheng
Alat musik yang menggunakan bilah logam dengan tabung-tabung bambu sebagai penghasil suara.
Xiao
Suling.
Paixiao
Pipa pen.
Alat Musik Pukul (Perkusi)
Paigu
Gendang yang terdiri dari satu set 4 atau lebih.
Dagu
Tambur besar.
Chazi
Simbal, cengceng.
Luo
Gong.
Muyu
Kecrek terbuat dari kayu.
.
Tahun Baru Imlek, Kebudayaan Cina di Indonesia
Sudah sepuluh kali terakhir ini kalau tidak salah
Tahun Baru Imlek alias Tahun Baru Cina dijadikan sebagai bagian dari hari libur Nasional Republik Indonesia. Era KH Abdurrachman Wahid merupakan
penyegaran dan
cahaya baru
khususnya bagi etnis Tionghoa yang ada di Indonesia, setelah lebih dari
30 tahun tidak diperbolehkan menunjukkan jatidirinya sebagai suatu suku
bangsa. Masih segar dalam ingatan, sebelum tahun 1998, apa saja yang
berbau Cina dianggap tidak nasionalis, tidak patriotik, dan dalam banyak
hal dikait-kaitkan dengan komunisme di RRC. Hal ini berlangsung ketika
hubungan Indonesia dengan Cina terputus pada tahun 1966 dan baru
mengalami perbaikan pada tahun 1989.
Pelarangan atas segala macam hal berbau Cina berlangsung dalam banyak
cara. Seperti keharusan mengganti nama dari nama Cina ke nama Indonesia
atau nama Cina yang diindonesiakan, pelarangan agama Konghuchu sehingga
etnis Tionghoa harus memilih salah satu dari lima agama yang diakui di
Indonesia, penutupan sekolah-sekolah berbahasa Cina sampai dilarangnya
penggunaan bahasa Cina secara meluas diseluruh Indonesia, serta
perlakuan-perlakuan diskriminatif lainnya seperti dipersulitnya mereka
memasuki ranah politik, militer dan bahkan hingga masalah
kewarganegaraan dimana untuk mengurus KTP saja harus menunjukkan surat
bukti kewarganegaraan Indonesia (yang seharusnya tidak perlu, karena mereka yang kelahiran Indonesia secara otomatis adalah WNI). Warna Cina hanya nampak pada klenteng-klenteng yang pada masa Orde Baru sangat terbatas kegiatannya. Kendati Feng Shui (atau bahasa selatannya Hong Shui)
Tapi dengan terbukanya klep ketertutupan
ini pasca 1998, perlahan kebudayaan Cina mulai kembali menunjukkan
jatidirinya ditengah masyarakat Indonesia. Bahkan pada awal tahun
2000-an salah satu televisi swasta terkemuka ditanah air mulai
menayangkan berita berbahasa Mandarin setiap hari dengan durasi setengah
jam dan berlangsung hingga kini. Aneka macam budaya Cina-pun mulai
kembali ditekuni seperti makin maraknya grup Barongsai yang anggotanya bukan hanya dari etnis Tionghoa, melainkan juga dari kalangan pribumi tanpa memandang asal usul dan agamanya (pendek kata kesenian Barongsai sudah menjadi milik bersama), Wushu, Kungfu dan kursus bahasa Mandarin.
Kebangkitan Budaya Minoritas
Belakangan kian banyak keturunan Cina
Indonesia yang dengan terbuka menyebut dirinya sebagai etnis Tionghoa.
Kendati sebenarnya mereka berasal dari suku Hokkien, Hokchia, Teochew, Hakka (Ge), Kanton, Mandarin dan sebagainya, namun di Indonesia mereka dianggap satu sebagai etnis Cina alias Tionghoa (atau kalau di Metrotv disebut Chaina.. sebunyi dengan Caina bahasa Sunda yang artinya ‘airnya’). Kesadaran ini muncul seperti dengan keterbukaan mereka menyebut diri sebagai umat Tri Dharma (khususnya Konghuchu) dan mengganti agama dalam KTP mereka dengan Konghuchu.
Segala sesuatu yang berbau Cina kini
sudah menjadi kelaziman, kendati huruf Cina hanya muncul sporadis tidak
seperti di Malaysia atau Singapura. Kesadaran ini mirip dengan
kebangkitan suku Cornish di Inggris Barat Daya (daerah Penzance)
yang berusaha membangkitkan kembali Bahasa Cornish setelah dua abad
menghilang dan mulai membuahkan hasil dengan diakuinya bahasa Cornish
sebagai bahasa daerah di Inggris Raya.
Tentunya budaya Cina di Indonesia ini
akan berbeda dengan yang ada di Malaysia, karena secara sejarah dan
sosio-politik keduanya sudah terpecah dan identitas keindonesiaan
dikalangan etnis Tionghoa inipun bervariasi pada setiap individunya.
Tapi, yang bisa diambil sebagai garis besar, etnis Cina Indonesia dalam banyak hal bisa jauh lebih nasionalis dibanding dengan orang pribumi Indonesia sendiri. Banyak kisah yang menyebutkan bahwa orang Cina Indonesia dimancanegara mengidentifikasi dirinya sebagai orang Indonesia. Bangsa Indonesia bersuku Tionghoa.
Pada Tahun Harimau ini, mudah-mudahan
terjadi perubahan berarti. Apalagi dengan semakin diakuinya aneka budaya
khas Tionghoa diberbagai segi hidup masyarakat Indonesia, diharapkan
akan membentuk suatu harmonisasi yang luar biasa, pembauran yang hakiki,
bukan pembauran semu seperti yang terjadi selama era sebelumnya. Meski stereotype dan diskriminasi masih ada.
Dalam contoh kecil ditempat
saya kuliah, saya bisa melihat betapa mahasiswa pribumi dan mahasiswa keturunan Cina bisa membaur dengan
gayengnya.
Tidak ada pengkotak-kotakan pergaulan berdasarkan ras dengan
menggunakan bahasa persatuan yang sama dan tentunya visi perkawanan yang
sebangun. Budaya minoritas
(berlaku juga pada budaya-budaya daerah)
bukan ancaman bagi persatuan bangsa, sepanjang bisa diatur dengan
sebaik-baiknya dan tetap pada koridor sebagai pemerkaya budaya bangsa
Indonesia.
Saya bangga dengan kemajemukan, kendati mengalami proses asimilasi
(baik asimilasi parsial atau total)
tentunya setiap minoritas berhak mempertahankan meski sebagian dari
budaya leluhurnya. Revitalisasi budaya seperti budaya Cina ini tidak
perlu ditakuti, karena toh mereka sudah menyatakan dan merasa memiliki
Indonesia ini sebagai tanah tumpah darah mereka, bukan Chungkuo atau
Tiongkok yang merupakan tanah asal leluhur mereka.